Monday, March 02, 2009

Sejenak Menahan Nafas disaat Pergantian Tahun 2008-2009

Sepanjang ingatan kolektif kita, sedikit sukar memprediksi situasi pasar unggas. Menjelang pergantian tahun 2008 ke tahun 2009 telah terjadi gunjang-ganjing pasar yang cukup membuat sport jantung peternak, pada akhir tahun ini situasinya cukup membuat gelisah namun pada kesempatan lain seperti momen lebaran sangat menggembirakan. Tak dapat dipungkiri, keadaan sosial, ekonomi dan psikologis masyarakat sangat memengaruhi kondisi pasar unggas kita.
Hujan di Bulan Desember 2008 ini rupanya merupakan sinyal merah buat peternak, pukulan yang datang cukup bertubi-tubi. Masyarakat mengurangi konsumsi hasil unggas khususnya daging ayam sekitar 2 bulan yaitu November, Desember tahun 2008 bahkan diprediksi sampai Januari 2009. Ini teramati dari drop-nya pasar (hingga 60%) di bulan November dan Desember 2008. Itulah pemasaran komoditi, bila tak terserap dengan segera, akan menumpuk di kandang. Maka beberapa minggu berselang, meskipun permintaan pasar sudah berangsur pulih, namun seolah-olah masih terjadi over supply dan baru kembali normal dalam waktu 5 minggu.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang dirasakan peternak. Kerugian identik dengan menipisnya modal lancar peternak, biasanya setelah terjadi hal itu, permintaan bibit ayam juga lemah. Harga bibit ayam juga lemah. Masih dalam bulan yang sama, kelangkaan dan mahalnya bahan baku pakan ternak khususnya jagung mulai terasa. Dampak dari mahalnya jagung tentu saja berpengaruh pada kenaikan harga pakan dari rata-rata Rp 4.700/kg menjadi sampai Rp 5.000/kg. Bahkan, berkurangnya daya serap DOC kala itu disinyalir merupakan dampak lain dari kenaikan harga pakan. Karena naiknya HPP (Harga Pokok Produksi) tidak dibarengi dengan kenaikan harga ayam di tingkat peternak, sehingga ada sebagian peternak yang menahan untuk chick in.
Di Yogyakarta dan sekitarnya awal Desember 2008 ini harga broiler sempat diperdagangkan Rp 6.500/kg, padahal BEP peternak bisa sampai Rp. 10.500/kg. Sehingga peternak mengalami kerugian Rp. 4000/kg, harga broiler di berbagai daerah juga mengalami penurunan drastis. Situasi pasar ini membuat optimisme peternak meredup dengan melakukan panic selling demi menekan kerugian. Merosotnya harga ayam pedaging juga ditunjang keadaan pasar yang absurd. Dengan mekanisme teknis penjualan yang didominasi broker, membuat harga jual broiler kerap terdikte. Akibatnya situasi pasar menjadi tidak berimbang, karena bila pasokan bibit ke pasar umum telah dipangkas 30%, logikanya harga ayam broiler turut terkatrol. Pada kenyataannya, kinerja ayam pedaging masih saja memburuk.
Memasuki akhir Februari 2009 situasi pasar broiler diprediksi baru akan mulai membaik. Akhir tahun yang miris ini ditambah lagi dengan pergantian cuaca yang menyebabkan timbulnya kasus penyakit yang cukup tinggi makin menyurutkan langkah peternak meraih untung. Melihat kondisi pasar unggas terahir, peternak memprediksi pelemahan harga berlangsung hingga mendekati Natal pada bulan Desember. Namun, tak sedikit pula yang khawatir terjadinya banjir pasokan seperti tahun lalu. Indikasi tersebut tercermin dari harga DOC yang diperdagangkan di bawah Rp. 1.000 pada pertengahan Desember. Bisa jadi, anjloknya harga DOC broiler karena produksi tidak terserap pasar. Hal ini terjadi lantaran peternak banyak yang mengurungkan jadwal chick in. Dengan harga pakan yang terus melambung, peternak khawatir apabila isi kandang, harga jualnya tidak sesuai harapan.
Namun disela-sela kegelisahan dan sejenak menahan nafas di pergantian tahun 2008-2009 ini tersirat optimisme. Salah satunya adalah momen persiapan pemilihan presiden 2009 yang mungkin bisa menjadi harapan mendongkrak konsumsi dan harga unggas – yang tentunya harus dibarengi dengan kampanye produk unggas. Tetaplah bertahan para peternak, karena dibalik anjloknya harga akan ada saat stabilnya harga, Tetap optimis, dan maju terus peternak Indonesia… (Agung :aveterinary@yahoo.com)

No comments: